Ketika Monyet Turun Gunung

Hutan di sekitar Saguling — tentu saja termasuk areal Mata Angin di Kampung Cigagak — merupakan habitat monyet ekor panjang (long-tailed macaque). Juga dikenal monyet pemakan kepiting (crab-eating macaque). Monyet jenis ini sangat populer dan mudah dikenali karena sering dipelihara. Dan, monyet jenis ini pula yang dijadikan atraksi topeng monyet. Satwa primata ini bernama Latin macaca fascicularis. Nama Latin itu disematkan pada 1821 oleh Thomas Stamford Raffles (1781-1826), penguasa Inggris di Hinda Belanda (Indonesia) pada periode 1811-1816. Raffles dikenal punya perhatian serius dalam ilmu pengetahuan. Nama macaca fascicularis ini bersinonim dengan nama macaca irus.    

Ciri fisik monyet ekor panjang ini warna bulunya coklat abu-abu. Di pipinya ada jambang yang terlihat lebih menonjol dibanding ciri fisik lainnya. Ukuran tubuhnya sedang saja. Panjang tubuhnya rata-rata 38-55 cm. Nah, yang panjang memang ukuran ekornya, sebagaimana sebutannya. Rata-rata panjang ekornya antara 40-65 cm. Jadi ukuran ekornya lebih panjang dari ukuran tubuhnya. Tak heran dinamai monyet ekor panjang. 

Jenis monyet ini memang satwa khas Asia Tenggara. Habitatnya tersebar di Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, hingga pesisir Myanmar. Biasanya terdapat di hutan-hutan pesisir pantai seperti hutan mangrove, hutan sepanjang aliran sungai, perkebunan. Satwa ini bisa hidup hingga ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl). Nah, ketinggian Mata Angin sekitar 725-760 mdpl. Di dekat situ ada gunung batu Nangtung yang ketinggiaannya hingga di atas 1.000-an mdpl. Monyet adalah hewan berkelompok. Rata-rata per kelompok ada 20-30 ekor, terdiri 2-4 jantan dewasa.   

Ciri fisik monyet ekor panjang ini warna bulunya coklat abu-abu. Di pipinya ada jambang yang terlihat lebih menonjol dibanding ciri fisik lainnya.

Di hutan-hutan di sekitar Bendungan Saguling, populasi satwa ini cukup banyak. Monyet-monyet ini sering turun dari gunung dan hutan. Mereka datang dalam beberapa kelompok, sehingga jumlahnya hingga ratusan ekor. Biasanya bertengger di sisi selatan Bendungan Saguling. Pada sore biasanya banyak pengunjung jalan-jalan cari angin di sekitar bendungan. Pada hari-hari libur jumlah pengunjung cukup banyak. Para pengunjung itu suka memberi makanan: kacang, pisang, sawo belanda, dan jenis buah-buahan lainnya. “Kalo kehabisan makanan di gunung mereka suka turun cari makan,” kata Pak Haji Mubin, tokoh masyarakat Cijeruk suatu waktu. “Sudah nggak takut lagi sama orang. Meskipun ada kita mereka tetap saja datang,” timpal Pak Ita, yang sehari-hari menjaga Mata Angin.   

Apabila mereka turun gunung mirip pasukan. Suaranya bersahut-sahutan. Masih liar, terkadang agresif bila merasa terancam. Mereka turun ke jalan-jalan, kebun, bahkan menyambangi warung penduduk. Tampaknya mereka kelaparan. Mungkin saking laparnya, monyet itu bahkan mencabuti pohon-pohon seperti singkong atau kacang panjang. “Saya pernah lihat monyet-monyet itu mencabuti singkong dengan dua tangannya. Kayak manusia saja,” tutur Haji Mubin sembari tertawa terbahak-bahak menceritakan keseriusan tingkah pola monyet-monyet itu mencari makanan. Dalam sekejap, tumbuhan palawija warga bisa ludes.    

penting untuk dipikirkan agar habitat mereka tidak dirusak manusia.

Mengapa monyet-monyet itu sampai turun gunung merambah kebun-kebun warga? Dugaan banyak orang karena sumber makanan monyet-monyet di hutan di gunung-gunung sudah jauh berkurang, malah mulai habis. Hal itu justru terjadi karena lahan-lahan hutan itu dirambah penduduk. Ada yang menggarap untuk tanaman pohon keras atau kebun. Jadi habitat monyet ekor panjang itu terusik. Terutama musim kemarau saat paceklik buah-buahan di hutan, monyet-monyet itu turuj ke permukiman penduduk. Karena itu, penting untuk dipikirkan agar habitat mereka tidak dirusak manusia. Peristiwa turun gunungnya monyet-monyet ekor panjang itu sebetulnya reaksi terhadap aksi perambahan hutan di habitat mereka.(*)